Selasa, 16 Desember 2008

Mahendra: My Real Ikal

Senin, 15 Desember 2008, seorang siswa menemuiku. Tanpa kuundang. Tanpa rencana. Hanya karena sebuah kebetulan yang aku yakin tak pernah lepas dari campur tangan Tuhan. Dia bercerita. Mengurai mimpinya. Yang sama sekali tak ia tahu warnanya. Yang ia tahu hanyalah: aku ingin kuliah. Mengejar pendidikan setinggi mungkin. Di usia yang baru lepas 16 tahun.

 

"Tapi ada nggak, Bu, beasiswa buat kuliah?"

 

Laskar pelangi. Aku seperti menemukan potret Ikal dan Arai di wajahnya yang masih belia. Mahendra. Dialah salah satu dari sekian banyak Ikal di bumi Indonesia ini. Anak-anak cemerlang di kelasnya yang dibatasi empat bidang tembok, yang memiliki mimpi setinggi bintang, tapi harus tetap insyaf pada realita. Ya, apalagi jika bukan keadaan ekonomi keluarga.

 

Dan selalu saja ada perih yang tertinggal di hati. Miris rasanya mendengar mimpi anak-anak kita dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Cita-cita yang terbentur pada realita. Semangat belajar yang masih begitu menggebu. Sementara di sudut bumi yang lain  ada anak yang terbiasa hidup bergelimang materi tapi monomersekiankan pendidikan. Bagi mereka mungkin pendidikan bukanlah sesuatu yang memerlukan perjuangan. Karena mereka tak pernah melewati sebuah perjuangan untuk mendapatkan apapun.

 

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, nak?"

 

Selain semangat dan dorongan untukmu meraih mimpi-mimpimu, maaf karena tak ada lagi yang bisa kutawarkan padamu. Kecuali sebuah janji akan membantumu mencari informasi beasiswa. Dan semoga Tuhan membantuku untuk memenuhinya. Bermimpilah, nak. Jangan pernah takut untuk bermimpi dan memperjuangkannya dengan segenap dayamu. Karena kita tak akan pernah tahu kado terbaik apa yang Tuhan persiapkan untuk kita.

 

Tak bisa kupungkiri aku juga melihat potretku delapan tahun lalu pada sosok muridku ini. Wajah gamang akan kemana aku setelah lulus SMU kala itu. Omongan bunda yang tak sepenuhnya menginginkan anaknya melanjutkan sekolah hingga ke bangku kuliah. Tapi kekerasan hati dan mimpi-mimpi telah membawaku hingga ke Jogja untuk kemudian kembali lagi ke tanah air kecilku ini. Menyaksikan anak-anak muda kota ini tumbuh. Menjadi bagian dari mereka.

 

Ya, Mahendra hanyalah satu dari sekian banyak anak yang memimpikan pendidikan tinggi. Satu dari sekian banyak anak yang mengharapkan beasiswa agar bisa mengurai benang mimpinya menjadi nyata. Pendidikan tinggi masih menjadi barang yang mahal di negeri kita. Diakui atau tidak. Dan untuk orang-orang seperti kami, mimpi dan kegigihanlah yang membuat kami mampu bertahan. Semoga saja Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kami kelak.

 

depo 40, 16 December 2008, 1.45 PM

Millenium Ketiga

"Cerita tentang angka nol adalah sebuah kisah kuno yang telah dimulai sejak masa awal kemunculan matematika, ribuan tahun sebelum peradaban pertama terbentuk, jauh sebelum manusia mampu membaca dan menulis."

 

Demikian tulis Seife dalam mengawali bukunya yang berjudul Zero: the Biography of a Dangerous Idea (2000) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Jimmi Firdaus dengan judul Biografi Angka Nol (2008). Seiffe menguraikan beberapa alasan yang membuat angka nol menjadi berbahaya dengan bahasa yang teramat gamblang. Salah satunya adalah kesalahan penentuan millennium karena tidak diakuinya angka nol.

 

System kalender masehi yang digunakan secara internasional menjadi cacat di mata Seiffe dengan tidak adanya angka nol. Penanggalan yang kita gunakan sekarang dimulai dari angka satu. Bahkan untuk memisahkan antara tahun masehi dan sebelum masehi pun angka nol tidak diakui. Padahal seandainya kita menganalogikan system penanggalan kita dengan sebuah garis bilangan dimana tahun masehi kita anggap sebagai bilangan positif dan tahun sebelum masehi kita analogikan bilangan negatis maka seharusnya ada angka nol diantara keduanya untuk memberi jeda antara tahun masehi dan sebelum masehi. Akan tetapi system penanggalan kita sekali lagi mengabaikan keberadaan angka nol. Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemic pada tahun berapa kita harus memulai abad baru. Jika Anda masih ingat pesta tahun baru beberapa tahun lalu dengan judul millennium ketiga yang dilakukan pada 31 Desember 1999 maka sebaiknya Anda memikirkan hal ini: 'Benarkah tahun 2000 merupakan awal millennium ketiga?'

 

Sekali lagi kita akan menggunakan analogi. Analogikan begini, ketika kita menentukan umur seorang anak, kita akan mengatakan anak itu berumur 1 tahun setelah si anak 12 bulan menghirup udara di dunia. Ketika si anak belum genap satu tahun kita akan menuliskan umurnya dalam satuan yang lebih kecil, entah itu bulan atau minggu, dengan kata lain si anak masih berumur 0 tahun. Dan kita akan mengatakan si anak berumur 11 tahun setelah dia berulang tahun ke-11. Demikian seterusnya.

 

Lalu bagaimana dengan pesta tahun baru sekian tahun lampau itu? Benarkah tahun 2000 merupakan awal millennium ketiga? Sayangnya hanya para pakar astronomi yang membuka botol sampanye mereka di atas bukit pada tanggal 31 Desember 2000 untuk merayakan dimulainya millennium ketiga. Padahal entah berapa banyak uang dan materi yang dihambur-hamburkan karena kesalahan ini.

 

Disarikan dari: Biografi Angka Nol, Penulis: Charles Seife. Penerjemah: Jimmi Firdaus. Penerbit e-Nusantara, Yogyakarta, 2008.

 

depo 40, 13 December 2008, 2.30 PM

 

 

Sabtu, 22 November 2008

welcome to my life

mama bilang uning pelit tapi adil
adik2ku bilang 'mba, kapan pulang?' saat aku pergi 
temen2 kuliahku bilang uning aneh [anak matematika kok hobi baca novel]
but sahabat2ku bilang i love you