Kamis, 19 Maret 2009

I do understand...

Tak jarang, orang lain mengatakan ‘ iya, aku mengerti, tapi…’ ketika kita berargumentasi. Mengaku mengerti kenapa kita bisa melakukan ini-itu, mengaku mengerti tentang kita, bahkan merasa mengerti tentang kehidupan kita sepenuhnya. Padahal mereka hanya sedikit sekali bersinggungan dengan kehidupan kita secara langsung. Mereka tidak tahu pasang surut kita, tidak tahu ketika kita terluka, bahkan ketika kita kehilangan seseorang yang amat dekat dengan kita pun mereka tak tahu. Lalu bagaimana mereka bisa mengerti?

No… you don’t know what it’s like to be like me. To be hurt, to feel lost, to be left out in the dark. To be kicked when you’re down, to be like you’ve been pushed around.

Sepenggal lirik Simple Plan mungkin bisa menjadi cermin. Ya, kita tidak pernah tahu bagaimana menjadi seperti orang lain. Dan tak seorang pun tahu seperti apa rasanya menjadi seperti aku. Meski seribu kali mereka bilang mengerti, tapi seribu kali itu pula mereka tak tahu what it’s like. Bahkan dengan empati yang segunung-gemunung, belum tentu mereka tahu rasanya. Karena mereka hanyalah the outsider. Mereka tak pernah mengalami sama persis dengan yang kita alami. Karena setiap pengalaman hidup adalah unik. Dan hanya ada satu yang benar-benar mengerti tentang kita. Dialah Rabb Sang Pencipta Alam Semesta.

Selasa, 17 Maret 2009

My Broniez

after all this times...dia datang lagi...dengan cerita yang sama...harapan yang sama...dan kesulitan yang sama,,,
what should I do? mengabaikannya begitu saja... atau give him a chance?
dengan jarak yang tak mungkin didekatkan, pekerjaan yang sulit dimutasikan, akankah hati dan logika menundukkan ego?
you're still a young boy...dan aku tak ingin menyakiti kemudaanmu.

Minggu, 01 Februari 2009

Idealisme vs Realita

Masih jelas di ingatanku ketika para dosen begitu menggebu berbicara tentang KBK dengan CTL-nya meski saat itu KBK belum diterapkan secara nasional, masih pada tahap uji coba di beberapa sekolah. Desain-desain pembelajaran pun dirancang. Konsep pembelajaran aktif menjadi favorit melalui berbagai macam tipe: peer teaching, jigsaw, STAD, dan entah apa lagi. Yang jelas semuanya dirancang untuk menaktifkan siswa, menjadikan mereka bukan hanya objek tetapi subjek pembelajar. Satu konsep baru terbentuk pekerjaan guru di kelas menjadi berkurang dengan berkurangnya dominasi guru di kelas, tetapi di sisi lain persiapan untuk merancang desain pembelajaran menjadi pekerjaan lain yang membutuhkan lebih banyak waktu, tenaga terlebih lagi pikiran.

Akibatnya, guru tidak lagi menjadi pengusa di kelas. Kelas sepenuhnya milik siswa. Tugas guru hanya sebagai fasilitator bagi mereka. Itulah kelas yang ideal. Akan tetapi, bagaimana kemudian konsep itu diterapkan di lapangan? Bahkan hingga KBK berubah menjadi KTSP, praktik-praktik pembelajaran konvensional tetap saja tumbuh subur seperti jamur di musim penghujan. Bagaimana tidak, dari Sabang sampai Merauke, tersebar berbagai keterbatasan yang membedakan antara kota besar dan kota kecil, kota kecil dan desa, belum lagi sekolah unggulan dan sekolah pinggiran.

Idealisme pada akhirnya harus menyerah pada realita. Minimnya fasilitas mulai dari ruang belajar hingga alat peraga, kesenjangan antara sekolah negeri dan swasta; unggulan dan non unggulan, minimnya SDM baik siswa maupun guru, hingga kurikulum yang selalu berganti baju menjadi pelengkap semakin carut-marutnya dunia pendidikan kita. Kemana anak-anak belia ini akan kita bawa? Akan menjadi apa mereka kelak? Seperti apa wajah Indonesia sekian tahun mendatang?

Percaya tak percaya, masih banyak siswa setingkat SLTA yang belum menguasai perkalian bahkan menjumlahkan dengan pecahan, padahal seharusnya materi itu mereka dapatkan di SD. Siswa kelas 1 SMK tidak bisa mengalikan 7 dengan 8. Yang lebih parah lagi, siswa kelas 3 yang beberapa bulan lagi ujian tidak bisa menghitung 2/5 -1 . Dan sayangnya ini adalah fakta yang terjadi di sebuah kota kecil, dan mungkin juga di banyak sekolah di daerah lain. Siapa yang salah? Bagaimana ini terjadi? Bagaimana mereka bisa lulus pendidikan dasar dari SD hingga SMP jika mengerjakan hitungan sederhana saja mereka tak bisa?

Mungkin, pemerintah perlu mengadakan riset yang lebih panjang sebelum memutuskan untuk mengganti sebuah kurikulum. Karena bagaimana pun waktu satu-dua tahun sama sekali tidak memadai untuk menilai apakah sebuah kurikulum bisa berjalan baik di lapangan dan memberikan hasil yang baik pula? Terlebih karena pendidikan kita berjenjang dari tingkat dasar hingga menengah. Pendidikan dasar, terutama sekali sekolah dasar, adalah kuncinya. Tempat paling tepat jika kita ingin memulai melakukan perbaikan pada pendidikan kita. Mengevaluasi kembali kurikulum hingga ujian nasional. Bukan hanya di ibukota propinsi yang dekat dengan universitas negeri sehingga banyak sekolah di sana yang menjadi pilot project pendidikan tapi hingga ke pelosok negeri di balik gunung-gemunung yang untuk mencapainya saja kaki harus rela pegal-pegal berjalan berkilo-kilo meter.

Pembenahan pendidikan di tingkat Sekolah Dasar memang wajib. Supaya tak ada lagi siswa SLTA yang menghitung pecahan saja tidak bisa. Atau siswa SMP yang masih membagi dengan menuliskan deretan lidi di kertasnya sejumlah bilangan yang akan dibagi. Supaya semua deretan konsep pembelajaran aktif nan elok itu dapat diterapkan di sekolah menengah. Karena bagaimana pun tak mungkin kita ‘melepas’ siswa kita di kelas menggunakan jigsaw untuk mempelajari konsep luas dan keliling bangun datar jika menghitung saja mereka masih sulit.

Jika pendidikan dasar di SD sudah bermutu tinggi dan menghasilkan lulusan-lulusan yang bermutu tinggi pula maka secara otomatis sekolah-sekolah menengah yang mutunya kurang akan terseleksi dengan sendiri. Karena lulusan yang bermutu tinggi tidak akan mencari sekolah menengah maupun sekolah tinggi dengan mutu rendahan. Dengan demikian idealisme yang diangankan para stakeholder pendidikan negeri ini tak lagi berjarak dengan realita yang ada di setiap penjuru negeri.

I do miss you

Betapa pun kokoh keangkuhan itu
Betapa pun gigih kemauan itu pernah diperjuangkan
Betapa akhirnya semua melebur menjadi debu
Terbawa angin entah kemana
Sisakan satu kesadaran
Betapa setiap riak kecilnya beri indah tak terperi
Yang kemudian berkumpul dan pecah dalam satu rasa
Dan betapa kini harus kurelakan segala rindu

-depo40, 22 januari 2009, 8.20 PM-

Selasa, 16 Desember 2008

Mahendra: My Real Ikal

Senin, 15 Desember 2008, seorang siswa menemuiku. Tanpa kuundang. Tanpa rencana. Hanya karena sebuah kebetulan yang aku yakin tak pernah lepas dari campur tangan Tuhan. Dia bercerita. Mengurai mimpinya. Yang sama sekali tak ia tahu warnanya. Yang ia tahu hanyalah: aku ingin kuliah. Mengejar pendidikan setinggi mungkin. Di usia yang baru lepas 16 tahun.

 

"Tapi ada nggak, Bu, beasiswa buat kuliah?"

 

Laskar pelangi. Aku seperti menemukan potret Ikal dan Arai di wajahnya yang masih belia. Mahendra. Dialah salah satu dari sekian banyak Ikal di bumi Indonesia ini. Anak-anak cemerlang di kelasnya yang dibatasi empat bidang tembok, yang memiliki mimpi setinggi bintang, tapi harus tetap insyaf pada realita. Ya, apalagi jika bukan keadaan ekonomi keluarga.

 

Dan selalu saja ada perih yang tertinggal di hati. Miris rasanya mendengar mimpi anak-anak kita dengan segala keterbatasan yang mereka miliki. Cita-cita yang terbentur pada realita. Semangat belajar yang masih begitu menggebu. Sementara di sudut bumi yang lain  ada anak yang terbiasa hidup bergelimang materi tapi monomersekiankan pendidikan. Bagi mereka mungkin pendidikan bukanlah sesuatu yang memerlukan perjuangan. Karena mereka tak pernah melewati sebuah perjuangan untuk mendapatkan apapun.

 

"Apa yang bisa kulakukan untukmu, nak?"

 

Selain semangat dan dorongan untukmu meraih mimpi-mimpimu, maaf karena tak ada lagi yang bisa kutawarkan padamu. Kecuali sebuah janji akan membantumu mencari informasi beasiswa. Dan semoga Tuhan membantuku untuk memenuhinya. Bermimpilah, nak. Jangan pernah takut untuk bermimpi dan memperjuangkannya dengan segenap dayamu. Karena kita tak akan pernah tahu kado terbaik apa yang Tuhan persiapkan untuk kita.

 

Tak bisa kupungkiri aku juga melihat potretku delapan tahun lalu pada sosok muridku ini. Wajah gamang akan kemana aku setelah lulus SMU kala itu. Omongan bunda yang tak sepenuhnya menginginkan anaknya melanjutkan sekolah hingga ke bangku kuliah. Tapi kekerasan hati dan mimpi-mimpi telah membawaku hingga ke Jogja untuk kemudian kembali lagi ke tanah air kecilku ini. Menyaksikan anak-anak muda kota ini tumbuh. Menjadi bagian dari mereka.

 

Ya, Mahendra hanyalah satu dari sekian banyak anak yang memimpikan pendidikan tinggi. Satu dari sekian banyak anak yang mengharapkan beasiswa agar bisa mengurai benang mimpinya menjadi nyata. Pendidikan tinggi masih menjadi barang yang mahal di negeri kita. Diakui atau tidak. Dan untuk orang-orang seperti kami, mimpi dan kegigihanlah yang membuat kami mampu bertahan. Semoga saja Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi kami kelak.

 

depo 40, 16 December 2008, 1.45 PM

Millenium Ketiga

"Cerita tentang angka nol adalah sebuah kisah kuno yang telah dimulai sejak masa awal kemunculan matematika, ribuan tahun sebelum peradaban pertama terbentuk, jauh sebelum manusia mampu membaca dan menulis."

 

Demikian tulis Seife dalam mengawali bukunya yang berjudul Zero: the Biography of a Dangerous Idea (2000) yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Jimmi Firdaus dengan judul Biografi Angka Nol (2008). Seiffe menguraikan beberapa alasan yang membuat angka nol menjadi berbahaya dengan bahasa yang teramat gamblang. Salah satunya adalah kesalahan penentuan millennium karena tidak diakuinya angka nol.

 

System kalender masehi yang digunakan secara internasional menjadi cacat di mata Seiffe dengan tidak adanya angka nol. Penanggalan yang kita gunakan sekarang dimulai dari angka satu. Bahkan untuk memisahkan antara tahun masehi dan sebelum masehi pun angka nol tidak diakui. Padahal seandainya kita menganalogikan system penanggalan kita dengan sebuah garis bilangan dimana tahun masehi kita anggap sebagai bilangan positif dan tahun sebelum masehi kita analogikan bilangan negatis maka seharusnya ada angka nol diantara keduanya untuk memberi jeda antara tahun masehi dan sebelum masehi. Akan tetapi system penanggalan kita sekali lagi mengabaikan keberadaan angka nol. Hal inilah yang kemudian menimbulkan polemic pada tahun berapa kita harus memulai abad baru. Jika Anda masih ingat pesta tahun baru beberapa tahun lalu dengan judul millennium ketiga yang dilakukan pada 31 Desember 1999 maka sebaiknya Anda memikirkan hal ini: 'Benarkah tahun 2000 merupakan awal millennium ketiga?'

 

Sekali lagi kita akan menggunakan analogi. Analogikan begini, ketika kita menentukan umur seorang anak, kita akan mengatakan anak itu berumur 1 tahun setelah si anak 12 bulan menghirup udara di dunia. Ketika si anak belum genap satu tahun kita akan menuliskan umurnya dalam satuan yang lebih kecil, entah itu bulan atau minggu, dengan kata lain si anak masih berumur 0 tahun. Dan kita akan mengatakan si anak berumur 11 tahun setelah dia berulang tahun ke-11. Demikian seterusnya.

 

Lalu bagaimana dengan pesta tahun baru sekian tahun lampau itu? Benarkah tahun 2000 merupakan awal millennium ketiga? Sayangnya hanya para pakar astronomi yang membuka botol sampanye mereka di atas bukit pada tanggal 31 Desember 2000 untuk merayakan dimulainya millennium ketiga. Padahal entah berapa banyak uang dan materi yang dihambur-hamburkan karena kesalahan ini.

 

Disarikan dari: Biografi Angka Nol, Penulis: Charles Seife. Penerjemah: Jimmi Firdaus. Penerbit e-Nusantara, Yogyakarta, 2008.

 

depo 40, 13 December 2008, 2.30 PM

 

 

Sabtu, 22 November 2008

welcome to my life

mama bilang uning pelit tapi adil
adik2ku bilang 'mba, kapan pulang?' saat aku pergi 
temen2 kuliahku bilang uning aneh [anak matematika kok hobi baca novel]
but sahabat2ku bilang i love you